
Jakarta || Pandawa Cakra.Com_.
Setelah menyaksikan aksi massa menjarah rumah Ahmad Sahroni, giliran rumah Eko Patrio. Anggota DPR RI dari PAN ini sempat “meledek” rakyat. Sekarang, kemarahan rakyat ia rasakan. Simak lagi kisah para penantang rakyat sedang menghadapi karmanya. Kopi jangan lupa, wak!
Di panggung republik yang kian absurd ini, permintaan maaf bukanlah obat, melainkan hiasan yang datang setelah luka membusuk. Begitulah nasib seorang Eko Patrio. Dari balik layar ponsel, wajah pucat pasi muncul, bibir gemetar, mata memelas. Ia minta maaf. Ia berusaha menekuk wajahnya menjadi topeng penyesalan, seperti badut yang tiba-tiba sadar bahwa tawa yang dipaksa justru menambah getir.
Tapi rakyat sudah terlalu jauh melangkah. Di luar sana, amarah berderap seperti arus banjir yang tak bisa dibendung. Rumah mewahnya di Setiabudi, Jakarta Selatan, diserbu massa yang datang bukan dengan bunga, melainkan dengan tangan kosong yang haus akan balas dendam.
Kulkas diangkut, dispenser dijinjing, sepatu dan sandal ditenteng, bahkan karpet digulung bak rampasan perang. Televisi besar yang dulu menayangkan wajah Eko melawak, kini dipanggul keluar, menjadi saksi bisu bahwa layar komedi itu telah pecah berkeping-keping.
Permintaan maaf yang diucapkan sekitar pukul 19.45 WIB, sebelum rumahnya dijarah, terdengar seperti doa yang tak sampai langit. Ia berkata lirih, “Saya sadar… saya menyesal… saya minta maaf…” Namun, apa arti air mata jika beberapa jam kemudian kursi ruang tamu dan lemari dapur berpindah tangan ke jalanan? Apa guna suara bergetar jika di luar sana amarah rakyat justru bergetar lebih keras?
Wajahnya memelas, dengan mata merah seakan menunggu pengampunan. Tetapi rakyat tidak lagi bisa ditenangkan. Mereka sudah lama dipaksa menelan pil pahit, pajak naik, hidup makin sulit, elit berjoget di atas penderitaan. Maka ketika Eko mencoba memoles wajah penuh derita, rakyat menjawab dengan cara paling purba, menjebol pintu, merampas isi rumah, lalu meninggalkan reruntuhan harga diri.
Sungguh tragis, seorang komedian yang sepanjang hidupnya menjual tawa, kini menjadi bahan tawa getir itu sendiri. Maafnya hanyalah bayangan, sebuah refleksi ironis bahwa di negeri ini, maaf kadang hanya lahir ketika palu rakyat sudah menghantam keras.
Ekspresinya jelas, mata sayu, pipi jatuh, mulut separuh terbuka, seperti aktor yang tahu panggungnya akan dirampas, namun tidak mampu keluar dari naskah. Ironinya, justru setelah ia minta maaf, lakon itu berubah jadi adegan paling absurd, rakyat benar-benar membawa pulang kulkasnya.
Di sinilah filsafat pahit itu menancap, maaf yang datang terlambat bukanlah penyembuh luka, melainkan garam yang ditaburkan ke atasnya. Air mata Eko hanyalah hujan buatan di tengah kobaran api amarah rakyat, sebuah tragedi yang bahkan wayang pun malu untuk melakoninya.
Who is the next? Sejumlah anggota Dewan yang melukai hati rakyat diumbar alamat lengkap rumahnya. Kalian bisa cek sendiri. Banyak di antaranya sudah mengosongkan rumah, menyelamatkan aset berharganya, sebelum rakyat merampas. Ada yang kabur ke kampung halamannya. Ada juga ke luar negeri. Bahkan, ada rumah menteri yang suka ngomong seenaknya ke publik, juga diumbar alamat rumahnya.
Mereka sah menjadi buronan rakyat. Berharap pada aparat polisi, mereka sedang disibukkan menghalau demontrans. Definisi perampasan aset para koruptor sedang ditutorialkan oleh rakyat sendiri.
(Tim Red).